Gua Maria ini terletak di pinggiran Ibukota dan kota-kota penyanggah (Jabodetabek). Bagi yang ingin merasakan suasana penuh kekhusukan dan nuansa doa bisa membuang langkah dari Jakarta ke tempat ini. Letaknya ada di Kampung Narimbang Dalam, Rangkasbitung, Banten. Perjalanan ke tempat ziarah ini sedikit berat. Lokasinya dekat Jakarta, namun jalan ke tempat ini tidak sama seperti Jl. Suddirman, Thamrin atau jalan protokol lainnya.
Selamat berdoa dan menggali makna yang lebih mendalam di tempat ini!!!
TEMPAT ZIARAH MARIA
Blog ini adalah kumpulan informasi dan foto mengenai destinasi ziarah Maria di beberapa tempat di Indonesia. Semoga dengan membaca dan melirik blog ini kita bisa mempersiapkan diri dengan baik untuk ziarah kita di mana kita bisa berdoa bersama Bunda Perawan Maria, Ibu dari semua yang mau berharap pada KASIH dan KEMURAHAN Tuhan
Senin, 12 Maret 2012
Sabtu, 10 Maret 2012
Ziarah dan Berdoa di Pulau Dewata
Sebuah tempat ziarah yang baru diberkati di Pulau Bali sangat berarti bukan hanya bagi umat Katolik tetapi juga umat Hindu setempat yang pergi dan berdoa di sana.
Setiap hari umat Katolik baik dari dalam maupun dari luar propinsi yang mayoritas Hindu itu mengunjungi tempat ziarah di Palasari tersebut. Satu-satunya desa yang mayoritas Katolik di Bali terletak di Kabupaten Melaya, sekitar 90 kilometer barat laut Denpasar, ibukota propinsi.
Peziarah mengunjungi tempat ziarah yang memiliki sebuah gua Maria dan Jalan Salib itu sejak awal tahun ini, bahkan sebelum tempat ziarah itu diberkati pada bulan September, kata Pastor Laurensius Maryono.
Selain umat Katolik, tempat ziarah itu juga menarik perhatian sejumlah umat Hindu yang tinggal di sekitar wilayah tersebut, lanjut pastor paroki itu. "Hampir setiap malam ada saja umat yang datang ke sini untuk berdoa sesuai iman mereka di depan Gua Maria."
Tempat ziarah itu, Palinggih Ida Kaniyaka Maria (tempat suci Maria), dibangun di sebelah Gereja Hati Kudus Yesus. Pembangunan dimulai 2005, dan Uskup Agung Leopoldo Girelli, Duta Vatikan untuk Indonesia, memberkati tempat ziarah itu pada 15 September, ketika paroki itu merayakan ulang tahun ke-50 gedung gerejanya dan ulang tahun paroki ke-68 parokinya.
Berbicara kepada sekitar 1.000 umat pada acara itu, Uskup Agung Girelli mengatakan bahwa Bali merupakan tujuan wisata internasional. Ia berharap tempat ziarah itu "tidak hanya menjadi berkat bagi umat Palasari, tapi berkat bagi semua orang yang datang ke sini."
UCA News mewawancarai sejumlah warga setempat yang mengatakan bahwa mereka sudah merasakan manfaat dari kunjungan dan doa di tempat ziarah itu.
Damianus Duran mengatakan bahwa ia mengunjungi tempat ziarah itu empat kali bersama keluarganya, dan mereka merasakan kedamaian. "Hampir tidak ada persoalan yang tidak dapat diatasi," kata bapak berusia 52 tahun yang memiliki tiga anak itu. "Saya sadar ini bukan karena kemampuan saya, tapi perlindungan dan doa-doa Bunda Maria."
Pada satu dari empat kunjungannya, pria Katolik itu mengajak tetangganya yang beragama Hindu -- seorang pegawai negeri sipil yang mengatakan bahwa ia ingin mengunjungi tempat ziarah itu tapi tidak berani -- beserta keluarganya.
Wanita itu, Jro Pudak, 43, mengatakan bahwa sebelumnya, saat ia berdoa di rumah, ia mendapat sebuah penampakan dari seorang wanita yang mengaku sebagai Bunda Maria. "Ia hadir tiba-tiba saja. Seperti sebuah bisikan, Bunda Maria meminta saya untuk datang ke tempatnya di Palasari dengan membawa bunga dan buah-buahan sebagai persembahan," kenang Pudak.
Bunga dan buah-buahan adalah persembahan yang umum diberikan oleh umat Hindu di Bali pada upacara-upacara keagamaan. Pudak mengatakan bahwa ia berdoa dan bermeditasi selama dua jam di tempat ziarah itu tanpa meminta sesuatu apa pun, karena ia hanya ingin menyampaikan terima kasih kepada Bunda Maria yang telah mendatangi dia malam itu.
"Saya yakin bahwa Bunda Maria adalah perantara doa kita kepada Tuhan," lanjutnya, seraya menambahkan bahwa ia merasakan perubahan dalam dirinya setelah mengunjungi tempat ziarah itu. "Saya seorang pemarah, cemburu. Namun semua itu sudah berubah. Saya menjadi lebih sabar dan tidak cemburu. Saya yakin Ibu Maria telah membersihkan diri saya," katanya.
Seorang Hindu setempat lainnya, Ni Made Suartini, telah mengunjungi tempat ziarah itu dua kali dalam seminggu selama tiga bulan. "Permohonan saya ingin sembuh dari sakit mata," kata wanita berusia 45 tahun yang matanya buta sejak satu tahun lalu.
"Saya bermimpi didatangi seorang perempuan cantik dan meminta saya untuk datang ke tempatnya," kata Suartini. Esok harinya, ia pergi ke tempat ziarah itu bersama seorang saudara beragama Katolik untuk pertama kalinya.
Sejak itu, setiap kali ia selesai berdoa di tempat ziarah itu, ia membasuh matanya dengan air suci di sana. "Setiap membasuh muka, dari mata saya keluar batu-batu kecil mirip pasir. Setelah itu mata saya rasanya agak lega," kata Suartini. Selama tiga bulan, penglihatannya mulai ada perubahan meskipun masih samar-samar.
Palinggih Ida Kaniyaka Maria merupakan tempat ziarah kedua di Bali. Tempat ziarah yang pertama, Gua Maria Sanih Water yang terletak sekitar 60 kilometer utara Denpasar, diberkati dan diresmikan oleh almarhum Uskup Denpasar Mgr Benyamin Yosef Bria tahun 2005.
Palasari, sebagai pemukiman umat Katolik pertama di Bali, telah lama menarik perhatian umat Katolik yang mengunjungi pulau itu.
Sumber: UCA News
Setiap hari umat Katolik baik dari dalam maupun dari luar propinsi yang mayoritas Hindu itu mengunjungi tempat ziarah di Palasari tersebut. Satu-satunya desa yang mayoritas Katolik di Bali terletak di Kabupaten Melaya, sekitar 90 kilometer barat laut Denpasar, ibukota propinsi.
Peziarah mengunjungi tempat ziarah yang memiliki sebuah gua Maria dan Jalan Salib itu sejak awal tahun ini, bahkan sebelum tempat ziarah itu diberkati pada bulan September, kata Pastor Laurensius Maryono.
Selain umat Katolik, tempat ziarah itu juga menarik perhatian sejumlah umat Hindu yang tinggal di sekitar wilayah tersebut, lanjut pastor paroki itu. "Hampir setiap malam ada saja umat yang datang ke sini untuk berdoa sesuai iman mereka di depan Gua Maria."
Tempat ziarah itu, Palinggih Ida Kaniyaka Maria (tempat suci Maria), dibangun di sebelah Gereja Hati Kudus Yesus. Pembangunan dimulai 2005, dan Uskup Agung Leopoldo Girelli, Duta Vatikan untuk Indonesia, memberkati tempat ziarah itu pada 15 September, ketika paroki itu merayakan ulang tahun ke-50 gedung gerejanya dan ulang tahun paroki ke-68 parokinya.
Berbicara kepada sekitar 1.000 umat pada acara itu, Uskup Agung Girelli mengatakan bahwa Bali merupakan tujuan wisata internasional. Ia berharap tempat ziarah itu "tidak hanya menjadi berkat bagi umat Palasari, tapi berkat bagi semua orang yang datang ke sini."
UCA News mewawancarai sejumlah warga setempat yang mengatakan bahwa mereka sudah merasakan manfaat dari kunjungan dan doa di tempat ziarah itu.
Damianus Duran mengatakan bahwa ia mengunjungi tempat ziarah itu empat kali bersama keluarganya, dan mereka merasakan kedamaian. "Hampir tidak ada persoalan yang tidak dapat diatasi," kata bapak berusia 52 tahun yang memiliki tiga anak itu. "Saya sadar ini bukan karena kemampuan saya, tapi perlindungan dan doa-doa Bunda Maria."
Pada satu dari empat kunjungannya, pria Katolik itu mengajak tetangganya yang beragama Hindu -- seorang pegawai negeri sipil yang mengatakan bahwa ia ingin mengunjungi tempat ziarah itu tapi tidak berani -- beserta keluarganya.
Wanita itu, Jro Pudak, 43, mengatakan bahwa sebelumnya, saat ia berdoa di rumah, ia mendapat sebuah penampakan dari seorang wanita yang mengaku sebagai Bunda Maria. "Ia hadir tiba-tiba saja. Seperti sebuah bisikan, Bunda Maria meminta saya untuk datang ke tempatnya di Palasari dengan membawa bunga dan buah-buahan sebagai persembahan," kenang Pudak.
Bunga dan buah-buahan adalah persembahan yang umum diberikan oleh umat Hindu di Bali pada upacara-upacara keagamaan. Pudak mengatakan bahwa ia berdoa dan bermeditasi selama dua jam di tempat ziarah itu tanpa meminta sesuatu apa pun, karena ia hanya ingin menyampaikan terima kasih kepada Bunda Maria yang telah mendatangi dia malam itu.
"Saya yakin bahwa Bunda Maria adalah perantara doa kita kepada Tuhan," lanjutnya, seraya menambahkan bahwa ia merasakan perubahan dalam dirinya setelah mengunjungi tempat ziarah itu. "Saya seorang pemarah, cemburu. Namun semua itu sudah berubah. Saya menjadi lebih sabar dan tidak cemburu. Saya yakin Ibu Maria telah membersihkan diri saya," katanya.
Seorang Hindu setempat lainnya, Ni Made Suartini, telah mengunjungi tempat ziarah itu dua kali dalam seminggu selama tiga bulan. "Permohonan saya ingin sembuh dari sakit mata," kata wanita berusia 45 tahun yang matanya buta sejak satu tahun lalu.
"Saya bermimpi didatangi seorang perempuan cantik dan meminta saya untuk datang ke tempatnya," kata Suartini. Esok harinya, ia pergi ke tempat ziarah itu bersama seorang saudara beragama Katolik untuk pertama kalinya.
Sejak itu, setiap kali ia selesai berdoa di tempat ziarah itu, ia membasuh matanya dengan air suci di sana. "Setiap membasuh muka, dari mata saya keluar batu-batu kecil mirip pasir. Setelah itu mata saya rasanya agak lega," kata Suartini. Selama tiga bulan, penglihatannya mulai ada perubahan meskipun masih samar-samar.
Palinggih Ida Kaniyaka Maria merupakan tempat ziarah kedua di Bali. Tempat ziarah yang pertama, Gua Maria Sanih Water yang terletak sekitar 60 kilometer utara Denpasar, diberkati dan diresmikan oleh almarhum Uskup Denpasar Mgr Benyamin Yosef Bria tahun 2005.
Palasari, sebagai pemukiman umat Katolik pertama di Bali, telah lama menarik perhatian umat Katolik yang mengunjungi pulau itu.
Sumber: UCA News
Mgr J.M.T. Pujasumarta: Ziarah Rohani Jauh Lebih Baik
Ziarah ke gua Maria, terutama pada Mei dan Oktober, sangat menggairahkan bagi umat Katolik. Mereka melakukannya secara berkelompok maupun pribadi.
Menurut Uskup Agung Semarang Mgr Johannes Maria Trilaksyanto Pujasumarta (61), kebiasaan umat Katolik berziarah itu baik untuk mengungkapkan iman mereka. Mgr Puja, begitu panggilan akrabnya, menegaskan hal tersebut ketika ditemui di Kantor Pelayanan Pastoral Keuskupan Agung Semarang (KAS), Jalan Imam Bonjol 172, Semarang, Jawa Tengah, Rabu, 4/5.
Mgr Puja juga menjelaskan sejumlah pertanyaan terkait dengan kegairahan umat Katolik melakukan peziarahan.
Petikannya:
Monsinyur, mengapa banyak orang Katolik senang melakukan ziarah ke Gua Maria?
Pertama, umat Katolik memiliki seorang tokoh khusus yang menjadi pokok iman, yaitu Yesus Kristus. Yesus Kristus mempunyai bunda, yaitu Bunda Maria. Maka, orang Katolik mempunyai devosi besar kepada Bunda Maria. Devosi ini diungkapkan dengan berbagai macam cara. Dari situlah ada tempat-tempat ziarah untuk menghormati Bunda Maria.
Sementara itu, tradisi Gereja juga menunjukkan ada bulan-bulan yang dijadikan orang Katolik sebagai waktu khusus untuk mengungkapkan devosi kepada Bunda Maria, yaitu Mei dan Oktober.
Selain berziarah, umat Katolik juga lebih suka berdoa rosario, lalu belanja benda-benda suci, dan sejenisnya, namun kurang suka membaca Kitab Suci atau buku-buku rohani lainnya. Betulkah?
Saya tidak setuju dengan anggapan seperti itu. Pernyataan dalam pertanyaan tersebut harus dibuktikan dengan angket. Setelah Konsili Vatikan II, tahun 1965, ada kesadaran baru bahwa umat Katolik sungguh-sungguh harus mendapatkan informasi iman dari sumber yang utama dan terpercaya, yaitu Kitab Suci. Maka, ada pemulihan supaya umat Katolik mencintai Kitab Suci. Di Indonesia, September dijadikan sebagai “Bulan Kitab Suci Nasional”. Kita sedang dalam proses transisi supaya Kitab Suci dijadikan sumber iman.
Sementara itu, harus diakui, kita beriman secara manusiawi. Maka, kita bersentuhan dengan benda-benda rohani seperti gambar, patung, dan sejenisnya. Itulah cara manusia berkontak dengan yang dipuja dan dicintai. Maka, benda-benda suci yang disediakan untuk mengungkapkan iman itu kita terima saja sebagai cara-cara yang manusiawi.
Konon, tempat ziarah-ziarah gua Maria antara lain dimaksudkan untuk mengalihkan umat Katolik agar tidak berziarah ke tempat lain yang bukan Katolik? Apa komentar Monsiyur?
Tempat peziarahan baru kini adalah mal. Kita memberikan alternatif yang baik jangan sampai kita menyeleweng ke tempat-tempat konsumtif, juga tempat yang percaya pada dukun dan magic. Berziarah itu jauh lebih baik untuk mengungkapkan iman kita. Karena di mal kita membeli bukan yang dibutuhkan, tetapi yang diinginkan.
Rekoleksi atau ziarah rohani jauh lebih baik daripada pergi ke tempat-tempat hiburan.
Penulis: Ivonne Suryanto
www.hidupkatolik.com
Entrevista com dom Dominikus Saku, bispo de Atambua (Timor Ocidental)
Indonésia: unidade na diversidade
ROMA, sexta-feira, 9 de março de 2012 (ZENIT.org) - A Indonésia é um arquipélago de 13.000 ilhas. Sua população é etnicamente diversificada, com mais de 300 tribos diferentes. A população é dividida entre caçadores e coletores rurais e a elite urbana moderna. A religião dominante é o islamismo: dos 245 milhões de habitantes, mais de 200 milhões são muçulmanos.Em colaboração com a Ajuda à Igreja que Sofre (AIS), Mark Riedemann entrevistou dom Dominikus Saku, bispo de Atambua, diocese situada no oeste da ilha de Timor, parte pertencente à Indonésia. O lado oriental da ilha constitui o Timor Leste, que se tornou uma nação independente.
***
O senhor cresceu numa família católica?Dom Saku: Sim. A minha família toda é católica, meus pais, meu avô e minha avó também, Agustinus e Sophia, por quem eu tenho muito carinho.
Quando o senhor teve a primeira experiência de Deus?Dom Saku: Eu era muito, muito jovem. Nós íamos nas casas das famílias católicas em maio e outubro, que são os meses do terço, para rezar e cantar. E uma vez por mês, o padre celebrava a missa na aldeia. Eu tive a graça de estar presente naquelas ocasiões. Eu imaginava as mensagens, mesmo não conseguindo entender, e sentia a sua beleza e significado.
O senhor entrou no seminário aos 17 anos. Quem ou o que foi decisivo na decisão de se tornar padre?Dom Saku: Os meus professores do ensino fundamental me instruíram sobre as vocações. No ensino médio, o pároco me orientou na minha decisão. Eu rezei e meditei sobre isso e finalmente entrei no seminário. O padre me incentivou a contar para os meus pais e familiares, que talvez apoiassem a decisão. Eu falei com o meu pai e ele respondeu que me apoiava, se aquilo era mesmo o que eu queria.
E mais tarde ele fez uma promessa...Dom Saku: Sim. Quando eu terminei os estudos no seminário menor, eu queria ir para o seminário maior, mas tinha dificuldades financeiras. Nós não conseguimos vender as nossas vacas e tivemos problemas. Eu fui com o meu pai até a casa do bispo pedir ajuda. Vendemos algumas das vacas e o bispo nos emprestou um pouco de dinheiro, que o meu pai devolveu depois. O meu pai me contou, mais tarde, que ele tinha prometido ao bispo que eu seria um belo presente para a Igreja e que não voltaria atrás na promessa.
Seu pai viu a sua ordenação?Dom Saku: Não, ele morreu poucos meses antes da minha ordenação... Mas já tinha dado o filho como presente para a Igreja.
Qual é o seu lema episcopal?Dom Saku: Eu falei com os meus amigos e refleti sobre a situação pastoral da diocese, no meu coração e na minha mente, e tentei manter a preocupação com a unidade da Igreja e como realizar essa tarefa. O lema do meu bispo anterior era "Maranatha", que significa "Vem, Senhor". Eu tentei manter esse espírito de amizade, união, amor e providência de Deus, e, finalmente, percebi que um lema apropriado seria na linha do discipulado. E escolhi "Vós sois meus amigos" - "Amici mei estis".
O Banco Mundial afirma que mais de 100 milhões de indonésios vivem com menos de 2 dólares por dia e que a pobreza está minando a educação das crianças. O que o senhor pode nos dizer sobre o desafio da pobreza na ilha de Timor? Como a Igreja está lidando com esta situação?
Dom Saku: O governo de Jacarta tenta ajudar as pessoas, distribuindo subsídios especialmente na educação. A Igreja Católica administra muitas escolas primárias, secundárias e universidades. Temos falta de recursos econômicos, mas nos esforçamos para oferecer educação de qualidade. Funciona, mas enfrentamos problemas. Quando você recebe o financiamento do Estado, corre o risco da dependência na gestão das nossas escolas. E isso é um risco de perder a nossa fé.
Por que existe perigo para a fé?Dom Saku: Os professores são pagos pelo governo e o problema é: eles são qualificados para incutir princípios cristãos nos alunos? Esta é uma preocupação grande para nós.
Eles não são cristãos?Dom Saku: São, mas, como você sabe, a influência da economia pode alterar os princípios.
A Indonésia é 88% muçulmana, a sua diocese é 95% católica. Como se explica isso?Dom Saku: Em 1913, a ilha de Timor foi dividida em duas partes. A parte ocidental estava sob os holandeses, que eram predominantemente protestantes. A parte oriental, do Centro-Norte ao Leste, estava sob os portugueses, que eram católicos. Por isso nós somos católicos.
Cercados, por assim dizer, por uma população muçulmana muito forte, não vai ser difícil continuar mantendo a fé?
Dom Saku: Felizmente, a influência muçulmana não é muito forte em Timor. Estivemos sob os holandeses e portugueses durante 350 anos. A influência muçulmana aqui não é tão forte como nas outras partes da Indonésia. Num sentido pastoral, nós, como diocese, procuramos manter um ambiente escolar, de família e de vida social baseado na fé.
Eventos internacionais como a guerra no Afeganistão ou a notícia dos americanos queimando o alcorão têm tido impacto negativo sobre os cristãos locais?Dom Saku: Nós orientamos as pessoas a não interpretar esses eventos a partir da perspectiva de "cristãos contra muçulmanos". Quando Israel foi à guerra contra a Palestina, os muçulmanos interpretaram dessa maneira. Nós tentamos esclarecer a maneira de pensar para não interpretarmos isso como "cristãos contra muçulmanos", e sim como uma guerra entre duas nações. Nós, cristãos, não queremos a guerra uns contra os outros, e propomos que o nosso povo seja amigo dos outros e viva em harmonia, como a bíblia menciona.
Os bispos católicos estão tentando restaurar um clima de reconciliação e confiança. Pode nos explicar melhor esse projeto?
Dom Saku: O presidente da Conferência Episcopal da Indonésia escreveu uma carta ao presidente do país destacando a liberdade de religião. Os bispos lançaram um apelo ao presidente para manter a unidade, porque o pluralismo faz parte da vida na Indonésia.
É a “unidade na diversidade”, o “Pancasila”[os cinco pilares básicos do nascimento da Indonésia], certo?Dom Saku: Exatamente, o "Pancasila". A unidade de todos os elementos que formam a Indonésia. O "Pancasila" é a base fundamental da constituição da Indonésia. O lema do país é "Bhinneka Ika Tunggal", “Unidade na Diversidade”, o que significa que nós somos multiformes, mas unidos como indonésios. Este deve ser o princípio do governo deste país.
***
O senhor cresceu numa família católica?Dom Saku: Sim. A minha família toda é católica, meus pais, meu avô e minha avó também, Agustinus e Sophia, por quem eu tenho muito carinho.
Quando o senhor teve a primeira experiência de Deus?Dom Saku: Eu era muito, muito jovem. Nós íamos nas casas das famílias católicas em maio e outubro, que são os meses do terço, para rezar e cantar. E uma vez por mês, o padre celebrava a missa na aldeia. Eu tive a graça de estar presente naquelas ocasiões. Eu imaginava as mensagens, mesmo não conseguindo entender, e sentia a sua beleza e significado.
O senhor entrou no seminário aos 17 anos. Quem ou o que foi decisivo na decisão de se tornar padre?Dom Saku: Os meus professores do ensino fundamental me instruíram sobre as vocações. No ensino médio, o pároco me orientou na minha decisão. Eu rezei e meditei sobre isso e finalmente entrei no seminário. O padre me incentivou a contar para os meus pais e familiares, que talvez apoiassem a decisão. Eu falei com o meu pai e ele respondeu que me apoiava, se aquilo era mesmo o que eu queria.
E mais tarde ele fez uma promessa...Dom Saku: Sim. Quando eu terminei os estudos no seminário menor, eu queria ir para o seminário maior, mas tinha dificuldades financeiras. Nós não conseguimos vender as nossas vacas e tivemos problemas. Eu fui com o meu pai até a casa do bispo pedir ajuda. Vendemos algumas das vacas e o bispo nos emprestou um pouco de dinheiro, que o meu pai devolveu depois. O meu pai me contou, mais tarde, que ele tinha prometido ao bispo que eu seria um belo presente para a Igreja e que não voltaria atrás na promessa.
Seu pai viu a sua ordenação?Dom Saku: Não, ele morreu poucos meses antes da minha ordenação... Mas já tinha dado o filho como presente para a Igreja.
Qual é o seu lema episcopal?Dom Saku: Eu falei com os meus amigos e refleti sobre a situação pastoral da diocese, no meu coração e na minha mente, e tentei manter a preocupação com a unidade da Igreja e como realizar essa tarefa. O lema do meu bispo anterior era "Maranatha", que significa "Vem, Senhor". Eu tentei manter esse espírito de amizade, união, amor e providência de Deus, e, finalmente, percebi que um lema apropriado seria na linha do discipulado. E escolhi "Vós sois meus amigos" - "Amici mei estis".
O Banco Mundial afirma que mais de 100 milhões de indonésios vivem com menos de 2 dólares por dia e que a pobreza está minando a educação das crianças. O que o senhor pode nos dizer sobre o desafio da pobreza na ilha de Timor? Como a Igreja está lidando com esta situação?
Dom Saku: O governo de Jacarta tenta ajudar as pessoas, distribuindo subsídios especialmente na educação. A Igreja Católica administra muitas escolas primárias, secundárias e universidades. Temos falta de recursos econômicos, mas nos esforçamos para oferecer educação de qualidade. Funciona, mas enfrentamos problemas. Quando você recebe o financiamento do Estado, corre o risco da dependência na gestão das nossas escolas. E isso é um risco de perder a nossa fé.
Por que existe perigo para a fé?Dom Saku: Os professores são pagos pelo governo e o problema é: eles são qualificados para incutir princípios cristãos nos alunos? Esta é uma preocupação grande para nós.
Eles não são cristãos?Dom Saku: São, mas, como você sabe, a influência da economia pode alterar os princípios.
A Indonésia é 88% muçulmana, a sua diocese é 95% católica. Como se explica isso?Dom Saku: Em 1913, a ilha de Timor foi dividida em duas partes. A parte ocidental estava sob os holandeses, que eram predominantemente protestantes. A parte oriental, do Centro-Norte ao Leste, estava sob os portugueses, que eram católicos. Por isso nós somos católicos.
Cercados, por assim dizer, por uma população muçulmana muito forte, não vai ser difícil continuar mantendo a fé?
Dom Saku: Felizmente, a influência muçulmana não é muito forte em Timor. Estivemos sob os holandeses e portugueses durante 350 anos. A influência muçulmana aqui não é tão forte como nas outras partes da Indonésia. Num sentido pastoral, nós, como diocese, procuramos manter um ambiente escolar, de família e de vida social baseado na fé.
Eventos internacionais como a guerra no Afeganistão ou a notícia dos americanos queimando o alcorão têm tido impacto negativo sobre os cristãos locais?Dom Saku: Nós orientamos as pessoas a não interpretar esses eventos a partir da perspectiva de "cristãos contra muçulmanos". Quando Israel foi à guerra contra a Palestina, os muçulmanos interpretaram dessa maneira. Nós tentamos esclarecer a maneira de pensar para não interpretarmos isso como "cristãos contra muçulmanos", e sim como uma guerra entre duas nações. Nós, cristãos, não queremos a guerra uns contra os outros, e propomos que o nosso povo seja amigo dos outros e viva em harmonia, como a bíblia menciona.
Os bispos católicos estão tentando restaurar um clima de reconciliação e confiança. Pode nos explicar melhor esse projeto?
Dom Saku: O presidente da Conferência Episcopal da Indonésia escreveu uma carta ao presidente do país destacando a liberdade de religião. Os bispos lançaram um apelo ao presidente para manter a unidade, porque o pluralismo faz parte da vida na Indonésia.
É a “unidade na diversidade”, o “Pancasila”[os cinco pilares básicos do nascimento da Indonésia], certo?Dom Saku: Exatamente, o "Pancasila". A unidade de todos os elementos que formam a Indonésia. O "Pancasila" é a base fundamental da constituição da Indonésia. O lema do país é "Bhinneka Ika Tunggal", “Unidade na Diversidade”, o que significa que nós somos multiformes, mas unidos como indonésios. Este deve ser o princípio do governo deste país.
Entrevista feita por Mark Riedemann para o programa “Deus chora na Terra”, da Catholic Radio e Television Network, em parceria com a organização Ajuda à Igreja que Sofre.
Na web: www.acn-intl.org e www.wheregodweeps.org
Na web: www.acn-intl.org e www.wheregodweeps.org
__________________________________________________________________
Foto Mgr. Dominikus Saku, Pr
www.unio-indonesia.com
Rabu, 07 Maret 2012
DEVOSI MARIA
Devosi Kepada Maria Penolong Umat Kristiani
Iman bagi kita adalah soal hati. Karena iman pertama-tama dibatinkan dan dihayati oleh setiap orang beriman. Penghayatan bisa berbeda-beda baik dalam cara maupun dalam kualitas. Gereja Katolik memberikan ruang sebesar-besarnya bagi umatnya dan senantiasa mengawasi, membimbing dan mengajarkan supaya dalam setiap penghayatan imannyaTuhan Allah menjadi pusat dan tujuan. Berbagai cara atau bentuk merupakan jalan untuk berjumpa dengan Allah yang maha kuasa. Banyaknya cara itu menandakan kekayaan karya Roh yang terwujud dalam aneka karunia. Penghayatan iman itu menemukan pengungkapan yang lebih lazim dalam devosi.
Kata “devosi” dari bahasa Latin yaitu devotio, yang kata kerjanya ialah devovere, berarti suatu sikap hati serta perwujudannya, yang dengannya orang secara pribadi mengarahkan diri, kepada sesuatu atau seseorang, yang dihargai, dijunjung tinggi, dicintai dan ditujui. Dalam hal ini, bila seorang anak ternyata punya sikap hati yang secara pribadi diarahkan kepada kedua orang tuannya, berarti anak ini sungguh berdevosi kepada kedua orang tuanya. Bila sasaran “devosi” itu adalah Allah dan apa saja yang berkaitan dengan Allah, misalnya Bunda Allah, lalu menjadi devosi keagamaan. Jadi devosi kepada Maria Penolong Umat Kristiani adalah sebuah devosi rohani, dan karena itu juga sebagai dovosi dalam Gereja.
Dasar Kitab Suci
Ada orang bertanya: “Apakah ada bukti-bukti peryataan dalam Kitab Suci yang menunjuk tentang Maria Penolong Umat Kristiani?” Ada pertanyaan lain yang lebih sengit: “Kalau pendasaran pada Kitab Suci sangat penting bagi kehidupan iman kita, lalu apakah devosi kepada Maria Penolong Umat Kristiani dapat dibenarkan karena bisa dibuktikan bahwa tidak ada petunjuk yang jelas di dalam Kitab Suci?”
Terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, jawaban yang masuk akal dan memadai tidak boleh jatuh pada sekedar berargumen bahwa devosi itu memang tidak ada di dalam Kitab Suci tetapi ada di dalam Tradisi Suci Gereja Katolik. Repotnya kalau tidak diberikan dengan pasti suatu atau beberapa petunjuk tradisi tertentu. Yang diperlukan justeru menemukan bagian-bagian dari Perjanjian Baru yang menghadirkan hal-hal tentang Bunda Maria. Melalui penafsiran, pemahaman dan refleksi atas teks-teks tersebut, dapat ditangkap fungsi atau peran Maria sebagai penolong yang menjadi perantara karya Allah bagi manusia.
Jawaban “Ya” Maria saat menerima kabar sukacita merupakan peristiwa pertama Maria menjadi seorang penolong bagi karya penebusan dan penyelamatan dunia dan manusia (Lukas 1, 38). Dalam kunjungannya kepada saudarinya Elisabet, Maria tampil sebagai seorang penolong (Lukas 1, 39-44). Pada saat pesta pernikahan di Kana, Maria berada di sana untuk membantu (Yohanes 2, 1-11). Di Kavari, Maria sungguh setia menemani Puteranya yang menghadapi kematian demi keselamatan dunia (Yohanes 19, 25-27). Selama hari-hari antara Kenaikan Tuhan dan datangnya Roh Kudus pada hari Pentakosta, Maria selalu berada di sana sebagai penolong bari para rasul yang dihantui ketakutan.
Dari semua petunjuk mengenai peran Maria sebagai pembantu ini, para ahli dalam Gereja menilai bahwa dasar Kitab Suci yang sangat menonjol ialah saat Maria menerima kepercayaan langsung dari Puteranya untuk menjadi penolong utama bagi seluruh pengikutNya, seluruh Gereja. Dari atas salib, Yesus berseru kepadanya: “Wanita, inilah anakmu”. Lalu kepada murid kekasihnya Ia berkata: “Inilah ibumu.” Peristiwa di Kalvari itu menjadikan Maria sebagai ibu kita semua. Maria tidak hanya menerima gelar “Penolong Umat Kristiani”, tetapi juga mengambil tugas, wewenang dan kewajiban dari gelar ini. Bahwa Maria telah mengerti tujuan dari Yesus di kayu salib dalam arti ini, dan bahwa Ia membuat Maria menjadi Ibu dan Penolong semua umat Kristiani, telah terbukti dengan banyak sekali perbuatannya sejak peristiwa di Kalvari itu.
Sejarah devosi
Perbuatan-perbuatan Bunda Maria sebagai penolong selanjutnya terbukti dalam sejarah Gereja Katolik melalui peristiwa-peristiwa berikut ini: pertama, pada waktu kepemimpinan Paus Pius V, Gereja mencatat kemenangan dalam perang melawan bangsa Turki dekat Lepanto pada tanggal 7 Oktober 1571. Mengikuti tradisi yang umum, Don Bosco menghubungkan asal mula gelar Maria Penolong Umat Kristiani dengan kemenangan Gereja Katolik ini.
Kedua, pada masa kepemimpinan Paus Innocentius XI, orang-orang Muslim mencoba lagi menyerbu Eropa melalui perang di Vienna pada tahun 1683. Pasukan Kristiani pada waktu itu dipimpin oleh Yohanes Sobiesky menang dalam perang ini dan orang-orang Muslim sekali lagi mundur. Setelah kemenangan ini, devosi kepada Maria Penolong Umat Kristiani semakin menyebar di dalam Gereja. Banyak kelompok pelayanan dan doa memakai nama ini.
Ketiga, ketika Napoleon Bonaparte menawan Paus Pius VII, doa-doa dan persembahan dipersembahkan kepada Maria. Akhirnya Paus dibebaskan pada tanggal 24 Mei 1814. Dalam sebuah dekrit, pada tanggal 15 September 1815, Paus menetapkan Pesta Maria Penolong Umat Kristen untuk dirayakan pada setiap tanggal 24 Mei. Paus menjadikan ini sebagai tanda syukurnya kepada Bunda Allah, karena ia menghubungi Maria dengan pembebasannya dan kembalinya ia ke Roma.
Sudah lama Don Bosco setia dengan devosi kepada Maria Penghibur (Maria Konsolata). Ketika ibunya, Mama Margareta meninggal dunia, Don Bosco pergi ke gereja Maria Konsolata untuk berdoa meminta Bunda Maria supaya sejak saat itu menjadi penolong bagi Oratori, menggantikan Mama Margareta. Di samping itu Don Bosco juga sangat mengidolakan Maria Dikandung Tanpa Noda yang sangat berguna bagi efektifnya sistem pendidikan yang diterapkannya. Apalagi bukan kebetulan, namun sebagai rancangan Allah yang menyelenggarakan tanggal 8 Desember 1841 sebagai permulaan karyanya kepada anak-anak muda di Turin. Saat itu ia berjumpa dengan anak terlantar, Bartolomeus Garelli, dan memulai Oratorium.
Dalam mimpinya tetang dua pilar, dia mengatakan bahwa di atas sebuah tiang ada patung Maria Dikandung Tanpa Noda, dan di kakinya terbaca tulisan ukuran besar “Auxilium Christianorum” yang artinya “Penolong Umat Kristiani.” Sementara itu di atas meja tulisnya ada patung Maria ukuran kecil dengan di kakinya terbaca “Penolong Umat Kristiani Yang Tak Bernoda.” Kemudian Basilika Maria Penolong Umat Kristiani yang dibangun di Turin, ia menempatkan patung Maria Tak Bernoda di atas kubahnya. Paus Pius IX yang memberikan indulgensi penuh bagi yang mengunjungi gereja itu berkata: “Kami memberikan indulgensi penuh kepada semua orang yang akan mengunjungi gereja di Turin yang dipersembahkan kepada Maria Perawan Tak Bernoda, yang diberi gelar “Maria Penolong Umat Kristiani.”
Dari semua kejadian di masa lalu itu, nampaknya Don Bosco tidak dapat melepaskan gelar “Maria Dikandung Tanpa Noda,” karena baginya hal itu sangat berarti bagi metode pendidikannya. Karena itu ia menyatukan dua gelar tersebut: ”Yang Dikandung Tanpa Noda” dan “Penolong Umat Kristiani, dan menyebut Bunda Maria “Penolong Umat Kristiani Yang Tak Bernoda.”
Warisan abadi
Penting dan bermanfaatnya devosi kepada Maria Penolong Umat Kristiani mesti dilihat juga pada aspek bagaimana ia dikembangkan dan diwariskan oleh Don Bosco. Ada semacam cita-cita yang ingin dicapainya, pertama-tama agar anak-anak di Oratori memiliki devosi ini kemudian generasi-generasi para Salesian sepanjang zaman. Maria Penolong Umat Kristiani, secara konstitusional ditetapkan menjadi pelindung utama Serikat Salesian Don Bosco. Untuk selanjutnya, Don Bosco dan para Salesian pendahulu yang kini berada di surga pasti merasa gembira karena tahu bahwa devosi ini telah menjadi suatu warisan abadi di dalam Gereja.
Ada tiga “monumen hidup” yang dapat dijadikan wakil dari warisan abadi ini. Pertama, Don Bosco mengambil inisiatif untuk bersama Maria Domenica Mazzarello mendirikan Serikat Puteri-Puteri Maria Penolong Umat Kristiani atau kini lazim dikenal sebagai FMA. Adalah sangat berarti kalau “monumen hidup” ini dalam aneka cara dan kesempatan selalu menyadarkan semua orang bahwa Bunda Maria Penolong Umat Kristiani berada di sekitar kita. Tugas membesarkan “monumen hidup” ini baik secara kuantitas maupun kualitas menuntut kerja keras terus-menerus supaya warisan ini tetap abadi dan menyebar ke seluruh pelosok dunia.
Kedua, Don Bosco mendirikan suatu gerakan yang dinamakan Putera-putera Maria. Awalnya ia bermaksud supaya di dalam sekolah-sekolah atau Oratori ada anak-anak yang dapat dibimbing untuk menemukan panggilan-panggilan gerejani. Kemudian perhatian juga diberikan kepada orang-orang muda yang dapat mengikuti panggilan yang terlambat atau panggilan dewasa untuk menjadi imam. Belakangan dalam kenyataan Don Bosco sendiri menyadari bahwa panggilan dewasa ini sangat efektif baik ketika menjalani pembinaan maupun saat menyelesaikannya dan menjalankan kehidupan menurut panggilannya itu. Don Bosco pernah berkata kepada para Salesian: “Karya Bunda Maria melalui Putera-putera Maria ini terbukti menghasilkan sama saudara yang sungguh bagus, dengan panggilan mereka yang meyakinkan.” Ternyata “monumen hidup” ini sampai kini tetap menjadi tumpuhan untuk membesarkan panggilan-panggilan baru baik untuk Salesian maupun Gereja Lokal.
Ketiga, Don Bosco juga mendirikan Archconfraternitas Pengikut Setia Maria Penolong Umat Kristiani. Tujuannya ialah untuk mengembangkan devosi umat beriman kepada Maria Penolong Umat Kristiani dan kepada Sakramen Mahakudus. Pendirian yang dilakukan di gereja Maria Penolong Umat Kristiani di Turin ini lalu disampaikan Don Bosco kepada Paus Pius IX. Kemudian Paus memberikan restu dan dukungannya untuk selamanya supaya “monumen hidup” bertahan sepanjang masa. Kini “monumen hidup” ini terdapat di mana-mana, khususnya di tempat-tempat karya Salesian.
Di antara warisan-warisan abadi Don Bosco berkenaan dengan devosi ini, mungkin paling laris dipakai di mana-mana ialah “Berkat Maria Penolong Umat Kristiani”. Sepertinya devosi ini tidak lengkap kalau tidak ada curahan rahmat Allah kepada manusia melalui berkat ini. Berkat ini terdiri dari formula singkat yang didahului dengan rumusan dialog antara imam yang memberi berkat dan orang yang menerima. Lalu diikuti dengan doa oleh imam dan diakhiri dengan berkat. Setiap imam Salesian mendapat kehormatan untuk menyampaikan berkat ini. Permohonan apa pun yang disampaikan kepada Allah atas nama berkat ini pasti akan terjawab, demikian menurut Don Bosco, asal untuk kebaikan dan keselamatan jiwa-jiwa. Ternyata sudah terbukti sejak zaman Don Bosco ada banyak mujisat yang terjadi melalui kemurahan berkat Maria Penolong Umat Kristiani.
Kehidupan Don Bosco dan para Salesian sesudahnya tidak bisa terlepas dari Bunda Maria Penolong Umat Kristiani. Dia adalah mahkota, keindahan dan kemurahan hati dalam hidup para Salesian dan karya-karyanya. Dia melekat pada hati setiap anggota Keluarga Salesian. Sampai kini tugas Keluarga Salesian masih tetap sama, yaitu dengan selalu menuruti yang dikatakan oleh Don Bosco: “Kita berutang semua keberhasilan kita kepada Maria … Jika para anggota Keluarga Salesian menjawab dengan setia panggilan-panggilan mereka, mereka akan dapat melihat sendiri keajaiban-keajaiban yang akan Bunda Allah perbuat bagi mereka.”
P. Peter Tukan, SVD
Kata “devosi” dari bahasa Latin yaitu devotio, yang kata kerjanya ialah devovere, berarti suatu sikap hati serta perwujudannya, yang dengannya orang secara pribadi mengarahkan diri, kepada sesuatu atau seseorang, yang dihargai, dijunjung tinggi, dicintai dan ditujui. Dalam hal ini, bila seorang anak ternyata punya sikap hati yang secara pribadi diarahkan kepada kedua orang tuannya, berarti anak ini sungguh berdevosi kepada kedua orang tuanya. Bila sasaran “devosi” itu adalah Allah dan apa saja yang berkaitan dengan Allah, misalnya Bunda Allah, lalu menjadi devosi keagamaan. Jadi devosi kepada Maria Penolong Umat Kristiani adalah sebuah devosi rohani, dan karena itu juga sebagai dovosi dalam Gereja.
Dasar Kitab Suci
Ada orang bertanya: “Apakah ada bukti-bukti peryataan dalam Kitab Suci yang menunjuk tentang Maria Penolong Umat Kristiani?” Ada pertanyaan lain yang lebih sengit: “Kalau pendasaran pada Kitab Suci sangat penting bagi kehidupan iman kita, lalu apakah devosi kepada Maria Penolong Umat Kristiani dapat dibenarkan karena bisa dibuktikan bahwa tidak ada petunjuk yang jelas di dalam Kitab Suci?”
Terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, jawaban yang masuk akal dan memadai tidak boleh jatuh pada sekedar berargumen bahwa devosi itu memang tidak ada di dalam Kitab Suci tetapi ada di dalam Tradisi Suci Gereja Katolik. Repotnya kalau tidak diberikan dengan pasti suatu atau beberapa petunjuk tradisi tertentu. Yang diperlukan justeru menemukan bagian-bagian dari Perjanjian Baru yang menghadirkan hal-hal tentang Bunda Maria. Melalui penafsiran, pemahaman dan refleksi atas teks-teks tersebut, dapat ditangkap fungsi atau peran Maria sebagai penolong yang menjadi perantara karya Allah bagi manusia.
Jawaban “Ya” Maria saat menerima kabar sukacita merupakan peristiwa pertama Maria menjadi seorang penolong bagi karya penebusan dan penyelamatan dunia dan manusia (Lukas 1, 38). Dalam kunjungannya kepada saudarinya Elisabet, Maria tampil sebagai seorang penolong (Lukas 1, 39-44). Pada saat pesta pernikahan di Kana, Maria berada di sana untuk membantu (Yohanes 2, 1-11). Di Kavari, Maria sungguh setia menemani Puteranya yang menghadapi kematian demi keselamatan dunia (Yohanes 19, 25-27). Selama hari-hari antara Kenaikan Tuhan dan datangnya Roh Kudus pada hari Pentakosta, Maria selalu berada di sana sebagai penolong bari para rasul yang dihantui ketakutan.
Dari semua petunjuk mengenai peran Maria sebagai pembantu ini, para ahli dalam Gereja menilai bahwa dasar Kitab Suci yang sangat menonjol ialah saat Maria menerima kepercayaan langsung dari Puteranya untuk menjadi penolong utama bagi seluruh pengikutNya, seluruh Gereja. Dari atas salib, Yesus berseru kepadanya: “Wanita, inilah anakmu”. Lalu kepada murid kekasihnya Ia berkata: “Inilah ibumu.” Peristiwa di Kalvari itu menjadikan Maria sebagai ibu kita semua. Maria tidak hanya menerima gelar “Penolong Umat Kristiani”, tetapi juga mengambil tugas, wewenang dan kewajiban dari gelar ini. Bahwa Maria telah mengerti tujuan dari Yesus di kayu salib dalam arti ini, dan bahwa Ia membuat Maria menjadi Ibu dan Penolong semua umat Kristiani, telah terbukti dengan banyak sekali perbuatannya sejak peristiwa di Kalvari itu.
Sejarah devosi
Perbuatan-perbuatan Bunda Maria sebagai penolong selanjutnya terbukti dalam sejarah Gereja Katolik melalui peristiwa-peristiwa berikut ini: pertama, pada waktu kepemimpinan Paus Pius V, Gereja mencatat kemenangan dalam perang melawan bangsa Turki dekat Lepanto pada tanggal 7 Oktober 1571. Mengikuti tradisi yang umum, Don Bosco menghubungkan asal mula gelar Maria Penolong Umat Kristiani dengan kemenangan Gereja Katolik ini.
Kedua, pada masa kepemimpinan Paus Innocentius XI, orang-orang Muslim mencoba lagi menyerbu Eropa melalui perang di Vienna pada tahun 1683. Pasukan Kristiani pada waktu itu dipimpin oleh Yohanes Sobiesky menang dalam perang ini dan orang-orang Muslim sekali lagi mundur. Setelah kemenangan ini, devosi kepada Maria Penolong Umat Kristiani semakin menyebar di dalam Gereja. Banyak kelompok pelayanan dan doa memakai nama ini.
Ketiga, ketika Napoleon Bonaparte menawan Paus Pius VII, doa-doa dan persembahan dipersembahkan kepada Maria. Akhirnya Paus dibebaskan pada tanggal 24 Mei 1814. Dalam sebuah dekrit, pada tanggal 15 September 1815, Paus menetapkan Pesta Maria Penolong Umat Kristen untuk dirayakan pada setiap tanggal 24 Mei. Paus menjadikan ini sebagai tanda syukurnya kepada Bunda Allah, karena ia menghubungi Maria dengan pembebasannya dan kembalinya ia ke Roma.
Sudah lama Don Bosco setia dengan devosi kepada Maria Penghibur (Maria Konsolata). Ketika ibunya, Mama Margareta meninggal dunia, Don Bosco pergi ke gereja Maria Konsolata untuk berdoa meminta Bunda Maria supaya sejak saat itu menjadi penolong bagi Oratori, menggantikan Mama Margareta. Di samping itu Don Bosco juga sangat mengidolakan Maria Dikandung Tanpa Noda yang sangat berguna bagi efektifnya sistem pendidikan yang diterapkannya. Apalagi bukan kebetulan, namun sebagai rancangan Allah yang menyelenggarakan tanggal 8 Desember 1841 sebagai permulaan karyanya kepada anak-anak muda di Turin. Saat itu ia berjumpa dengan anak terlantar, Bartolomeus Garelli, dan memulai Oratorium.
Dalam mimpinya tetang dua pilar, dia mengatakan bahwa di atas sebuah tiang ada patung Maria Dikandung Tanpa Noda, dan di kakinya terbaca tulisan ukuran besar “Auxilium Christianorum” yang artinya “Penolong Umat Kristiani.” Sementara itu di atas meja tulisnya ada patung Maria ukuran kecil dengan di kakinya terbaca “Penolong Umat Kristiani Yang Tak Bernoda.” Kemudian Basilika Maria Penolong Umat Kristiani yang dibangun di Turin, ia menempatkan patung Maria Tak Bernoda di atas kubahnya. Paus Pius IX yang memberikan indulgensi penuh bagi yang mengunjungi gereja itu berkata: “Kami memberikan indulgensi penuh kepada semua orang yang akan mengunjungi gereja di Turin yang dipersembahkan kepada Maria Perawan Tak Bernoda, yang diberi gelar “Maria Penolong Umat Kristiani.”
Dari semua kejadian di masa lalu itu, nampaknya Don Bosco tidak dapat melepaskan gelar “Maria Dikandung Tanpa Noda,” karena baginya hal itu sangat berarti bagi metode pendidikannya. Karena itu ia menyatukan dua gelar tersebut: ”Yang Dikandung Tanpa Noda” dan “Penolong Umat Kristiani, dan menyebut Bunda Maria “Penolong Umat Kristiani Yang Tak Bernoda.”
Warisan abadi
Penting dan bermanfaatnya devosi kepada Maria Penolong Umat Kristiani mesti dilihat juga pada aspek bagaimana ia dikembangkan dan diwariskan oleh Don Bosco. Ada semacam cita-cita yang ingin dicapainya, pertama-tama agar anak-anak di Oratori memiliki devosi ini kemudian generasi-generasi para Salesian sepanjang zaman. Maria Penolong Umat Kristiani, secara konstitusional ditetapkan menjadi pelindung utama Serikat Salesian Don Bosco. Untuk selanjutnya, Don Bosco dan para Salesian pendahulu yang kini berada di surga pasti merasa gembira karena tahu bahwa devosi ini telah menjadi suatu warisan abadi di dalam Gereja.
Ada tiga “monumen hidup” yang dapat dijadikan wakil dari warisan abadi ini. Pertama, Don Bosco mengambil inisiatif untuk bersama Maria Domenica Mazzarello mendirikan Serikat Puteri-Puteri Maria Penolong Umat Kristiani atau kini lazim dikenal sebagai FMA. Adalah sangat berarti kalau “monumen hidup” ini dalam aneka cara dan kesempatan selalu menyadarkan semua orang bahwa Bunda Maria Penolong Umat Kristiani berada di sekitar kita. Tugas membesarkan “monumen hidup” ini baik secara kuantitas maupun kualitas menuntut kerja keras terus-menerus supaya warisan ini tetap abadi dan menyebar ke seluruh pelosok dunia.
Kedua, Don Bosco mendirikan suatu gerakan yang dinamakan Putera-putera Maria. Awalnya ia bermaksud supaya di dalam sekolah-sekolah atau Oratori ada anak-anak yang dapat dibimbing untuk menemukan panggilan-panggilan gerejani. Kemudian perhatian juga diberikan kepada orang-orang muda yang dapat mengikuti panggilan yang terlambat atau panggilan dewasa untuk menjadi imam. Belakangan dalam kenyataan Don Bosco sendiri menyadari bahwa panggilan dewasa ini sangat efektif baik ketika menjalani pembinaan maupun saat menyelesaikannya dan menjalankan kehidupan menurut panggilannya itu. Don Bosco pernah berkata kepada para Salesian: “Karya Bunda Maria melalui Putera-putera Maria ini terbukti menghasilkan sama saudara yang sungguh bagus, dengan panggilan mereka yang meyakinkan.” Ternyata “monumen hidup” ini sampai kini tetap menjadi tumpuhan untuk membesarkan panggilan-panggilan baru baik untuk Salesian maupun Gereja Lokal.
Ketiga, Don Bosco juga mendirikan Archconfraternitas Pengikut Setia Maria Penolong Umat Kristiani. Tujuannya ialah untuk mengembangkan devosi umat beriman kepada Maria Penolong Umat Kristiani dan kepada Sakramen Mahakudus. Pendirian yang dilakukan di gereja Maria Penolong Umat Kristiani di Turin ini lalu disampaikan Don Bosco kepada Paus Pius IX. Kemudian Paus memberikan restu dan dukungannya untuk selamanya supaya “monumen hidup” bertahan sepanjang masa. Kini “monumen hidup” ini terdapat di mana-mana, khususnya di tempat-tempat karya Salesian.
Di antara warisan-warisan abadi Don Bosco berkenaan dengan devosi ini, mungkin paling laris dipakai di mana-mana ialah “Berkat Maria Penolong Umat Kristiani”. Sepertinya devosi ini tidak lengkap kalau tidak ada curahan rahmat Allah kepada manusia melalui berkat ini. Berkat ini terdiri dari formula singkat yang didahului dengan rumusan dialog antara imam yang memberi berkat dan orang yang menerima. Lalu diikuti dengan doa oleh imam dan diakhiri dengan berkat. Setiap imam Salesian mendapat kehormatan untuk menyampaikan berkat ini. Permohonan apa pun yang disampaikan kepada Allah atas nama berkat ini pasti akan terjawab, demikian menurut Don Bosco, asal untuk kebaikan dan keselamatan jiwa-jiwa. Ternyata sudah terbukti sejak zaman Don Bosco ada banyak mujisat yang terjadi melalui kemurahan berkat Maria Penolong Umat Kristiani.
Kehidupan Don Bosco dan para Salesian sesudahnya tidak bisa terlepas dari Bunda Maria Penolong Umat Kristiani. Dia adalah mahkota, keindahan dan kemurahan hati dalam hidup para Salesian dan karya-karyanya. Dia melekat pada hati setiap anggota Keluarga Salesian. Sampai kini tugas Keluarga Salesian masih tetap sama, yaitu dengan selalu menuruti yang dikatakan oleh Don Bosco: “Kita berutang semua keberhasilan kita kepada Maria … Jika para anggota Keluarga Salesian menjawab dengan setia panggilan-panggilan mereka, mereka akan dapat melihat sendiri keajaiban-keajaiban yang akan Bunda Allah perbuat bagi mereka.”
P. Peter Tukan, SVD
GUA MARIA LAWANGSIH, NANGGULAN, YOGYAKARTA
Letaknya di kawasan perbukitan Menoreh, masuk wilayah otoritas Paroki Nanggulan. Peziarah yang mau mengunjungi tempat ini bisa mengikuti tiga jalur, dari arah Wates-Kulonprogo, dari Magelang-Muntilan atau langsung dari kota Yogyakarta.
Perjalanan ke Gua Maria ini kurang lebih 1 jam dari kota Yogyakarta. Suasana pegunungan yang sejuk, pemandangan hijau di kiri-kanan jalan dan juga persawahan yang menghampar indah seakan menjadi persiapan bagi para peziarah menenangkan batinnya sebelum berdoa.
Yang dari kota Yogyakarta kalau tida membawa kendaraan sendiri bisa juga menyewa mobil atau sepeda motor (disarankan menggunakan armada kendaraan yang sudah dikenal pemiliknya, manfaatkan peran keluarga, sahabat kenalan atau rekan yang ada di Yogyakarta). Jalanan ke Gua Maria ini cukup curam di beberapa titik.
Di tempat ini juga ada ruangan dalam tanah (dipakai untuk devosi kepada HATI KUDUS YESUS) dan juga air sejuk di dekat kaki Maria yang bisa dinikmati peziarah. Sedikit berhati-hati di jalan merupakan tambahan bekal yang harus anda bawa dalam perjalanan menguatkan iman dan harap serta cinta di tempat ini.
Bunda Maria, doakanlah kami selalu
Perjalanan ke Gua Maria ini kurang lebih 1 jam dari kota Yogyakarta. Suasana pegunungan yang sejuk, pemandangan hijau di kiri-kanan jalan dan juga persawahan yang menghampar indah seakan menjadi persiapan bagi para peziarah menenangkan batinnya sebelum berdoa.
Yang dari kota Yogyakarta kalau tida membawa kendaraan sendiri bisa juga menyewa mobil atau sepeda motor (disarankan menggunakan armada kendaraan yang sudah dikenal pemiliknya, manfaatkan peran keluarga, sahabat kenalan atau rekan yang ada di Yogyakarta). Jalanan ke Gua Maria ini cukup curam di beberapa titik.
Di tempat ini juga ada ruangan dalam tanah (dipakai untuk devosi kepada HATI KUDUS YESUS) dan juga air sejuk di dekat kaki Maria yang bisa dinikmati peziarah. Sedikit berhati-hati di jalan merupakan tambahan bekal yang harus anda bawa dalam perjalanan menguatkan iman dan harap serta cinta di tempat ini.
Bunda Maria, doakanlah kami selalu
GUA MARIA KEREP, AMBARAWA
Tempat ziarah ini menjadi salah satu tempat favorit para peziarah yang datang dari jauh dan mengharapkan terkabulnya doa mereka bersama dan melalui doa-doa Maria kepada Yesus Putra-Nya. Letaknya sesudah monumen Palagan Ambarawa kalau dari arah Semarang, langsung serong kanan ke arah atas. Kalau dari arah Jogjakarta dan Magelang langsung belok kiri sebelum monumen. Seperti tempat ziarah umumnya pasti ada papan penunjuk arah.
Gua ini juga dilengkapi dengan fasilitas Jalan Salib dan warung-warung makanan di depan Kapela dan Gua. Nuansa toleransi sangat kental di wilayah ini. Banyak penjual dan pedagang asongan di sini yang beragama Muslim namun menghormati pemeluk agama Katolik yang berziarah.
Banyak cerita dan mukjizat terjadi di tempat ini bagi yang sungguh-sungguh berdoa dan memanjatkan permohonannya kepada Allah yang Maha Kuasa melalui perantaraan doa Maria kepada Yesus Putra-Nya.
Maria, Bintang Kejora, tolonglah kami anak-anakmu. Doakanlah kami pada Yesus Putramu...
Gua ini juga dilengkapi dengan fasilitas Jalan Salib dan warung-warung makanan di depan Kapela dan Gua. Nuansa toleransi sangat kental di wilayah ini. Banyak penjual dan pedagang asongan di sini yang beragama Muslim namun menghormati pemeluk agama Katolik yang berziarah.
Banyak cerita dan mukjizat terjadi di tempat ini bagi yang sungguh-sungguh berdoa dan memanjatkan permohonannya kepada Allah yang Maha Kuasa melalui perantaraan doa Maria kepada Yesus Putra-Nya.
Maria, Bintang Kejora, tolonglah kami anak-anakmu. Doakanlah kami pada Yesus Putramu...
Langganan:
Postingan (Atom)